Rabu, 04 Desember 2019

Materi LP 7 Sistem Pendidikan


Makalah landasan pendidikan materi sistem pendidikan nasional
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL


A.    Pengertian Sistem Pendidikan Nasional
Sistem pendidikan nasional merupakan salah satu bagian dari perkembangan nasional diantara bidang kehidupan lainnya, seperti ideologi, hukum dan pertahanan keamanan nasional. Sistem pendidikan juga dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan aktivitas pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan terjadinya suatu tujuan pendidikan nasional. Dalam hal ini sistem pendidikan nasional tersebut merupakan suatu suprasistem, yaitu suatu sistem yang besar dan kompleks yang didalamnya mencakup dari beberapa bagian yang juga merupakan sistem-sistem.
Menurut Sunarya (1969), pendidikan nasional adalah suatu sistem pendidikan yang berdiri diatas landasan dan dijiwai oleh falsafah hidup suatu bangsa dan tujuannya bersikap mengabdi kepada kepentingan dan cita-cita nasional bangsa tersebu.
Menurut Departemen pendidikan dan Kebudayaan (1976), pendidikan nasional adalah suatu usaha untuk membimbing para warga negara Indonesia menjadi berkepribadian Pancasila, yaitu berpribadi berdasarkan ketuhanan berkesadaran masyarakat dan mampu membudayakan alam sekitar.
Menurut UU RI No. 2 (1989) tentang sistem pendidikan nasional pada bab 1 pasal 2 berbunyi : Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dari penjelasan tersebut kami menyimpulkan bahwa sistem pendidikan adalah kesatuan integral dari sejumlah unsur pendidikan yang saling berpengaruh, terarah terhadap pencapaian tujuan pendidikan yang akan menghasilkan keluaran atau tamatan yang berkualitas demi kemanjuan bangsa dan negara.

1.      Pengertian Sistem Pendidikan
Kata sistem berasal dari bahasa Yunani yaitu systema yang berarti “cara, strategi”. Dalam bahasa Inggris system berarti “system, susunan, jaringan, cara”. System juga diartikan “suatu strategi, cara berpikir atau model berpikir”. Definisi tradisional menyatakan bahwa system adalah seperangkat komponen atau unsur-unsur yang saling berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan.
Definisi modern juga tidak jauh berbeda dengan definisi tradisional seperti apa yang dikemkakan oleh para ahli, antara lain:
1.    Immegart mendefinisikan system adalah suatu keseluruhan yang memiliki bagian-bagian yang tersusun secara sistematis, bagian-bagian itu terelasi antara satu dengan yang lain, serta peduli terhadap kontek lingkungannya.
2.    Roger A Kanfman mendefinisikan system dengan suatu totalitas yang tersusun dari bagian-bagian yang bekerja secara sendiri-sendiri atau bekerja bersama-sama untuk mencapai hasil atau tujuan yang diinginkan berdasarkan kebutuhan.
3.    Zahara Idris mengemukakan bahwa system adalah suatu kesatuan yang terdiri atas komponen-komponen atau element-element, atau unsur-unsur sebagai sumber-sumber yang mempunyai hubungan fungsional yang teratur untuk mencapai suatu hasil.
Sedangkan kata pendidikan itu berasal dari kata “Pedagogi”, kata tersebut berasal dari bahasa yunani kuno, yang jika dieja menjadi 2 kata yaitu Paid yang artinya anak dan Agagos yang artinya membimbing. Dengan demikian Pendidikan bisa di artikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan proses pembelajaran dan suasana belajar agar para pelajar di didik secara aktif dalam mengembangkan potensi dirinya yang diperlukan untuk dirinya dan masyarakat.
Pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan yang secara sadar dan disengaja serta penuh tanggung jawab yang dilakukan orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan.
Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setiap system pasti mempunyai ciri-ciri, antara lain:
1.    Komponen-komponen, Komponen adalah bagian suatu system yang melaksanakan suatu fungsi untuk menunjang usaha mencapai tujuan system.
2.    Interaksi atau saling berhubungan, semua komponen dalam sustu system pasti saling mempengaruhi dan saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya.
3.    Proses transformasi, semua system dalam mencapai tujuannya pasti memerlukan sebuah proses.
4.    Koreksi, untuk mengetahui apakah semuanya berjalan dengan baik dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan, maka diperlukan adanya koreksi terhadap semua itu.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, mungkin dapat kita simpulkan bahwa sistem pendidikan adalah suatu system yang terdiri dari komponen-komponen yang ada dalam proses pendidikan, dimana antara satu komponen dengan komponen yang lainnya saling berhubungan dan berinteraksi untuk mencapai tujuan pendidikan.
B.     Tujuan dan Fungsi Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan membangun seluruh rakyat Indonesia. Yang mana pembangunan manusia seutuhnya meliputi potensi kepribadian dan wawasan dasar sebagai berikut:
• Secara integral mencakup panca indra yang sehat;
• Sikap dasar yang menjadi subtansi utama dalam pembinaan warga Indonesia seutuhnya, seperti sikap hidup sehat, hidup hemat, hidup cermat, hidup rajin, hidup disiplin, hidup berani dan berilmu, serta sikap hidup penuh tanggung jawab.
• Wawasan dasar, yaitu wawasan dan pengetahuan yang seimbang antara potensi kebutuhan nilai jasmani dan rohani, keseimbangan antara kehidupan individualitas dengan kemasyarakatan, keseimbangan dunia dan akhirat, serta kesejahteraan yang menyadari bahwa manusia adalah pewaris penerus bangsa.
1. Tujuan Sistem Pendidikan Nasional
a. Mengarahkan untuk kesejahteraan bangsa;
b. Mempersiapkan tenaga kerja bagi industrialis dimasa yang akan datang;
c. Penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
d. Menanamkan jiwa patriotisme (SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 104 / Bhg 1 Maret 1946);
e. Membentuk manusia susila yang cakap, warga negara demokratis dan bertanggung jawab untuk mensejahterakn masyarakat dan tanah air (UU No. 4 1950);
f. Mendidik anak ke arah terbentuknya manusia berjiwa pancasila (TAP MPRS No. 2 Tahun 1966);
g. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia seutuhnya (TAP MPR No. 2 1988 GBHN);
h. Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya (UU No. 2 1989).
2. Fungsi Sistem Pendidikan Nasional
a. Sebagai alat membangun pengembangan pribadi warga negara, kebudayaan dan bangsa Indonesia;
b. Mengembangkan kemampuan serta meningkatnya mutu kehidupan dan martabat bangsa dalam upaya mewujudkan tujuan nasional;
C. Kelembagaan, Program dan pengelolaan Pendidikan Kelembagaan Pendidikan
Pendidikan nasional dilaksanakan melalui lembaga-lembaga pendidikan baik dalam bentuk sekolah maupun dalam bentuk kelompok belajar. Penyelenggaraan SISDIKNAS dilaksanakan melalui 2 jalur yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah, disingkat PLS.
1) Jalur pendidikan sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan (pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi). Sifatnya formal, diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan pemerintah ada keseragaman pola yang bersifat nasional.
2) Jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang bersifat kemasyarakatan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak berjenjang dan tidak berkesinambungan seperti kursus-kursus di luar sekolah, yang sifatnya tidak formal.
3) Jenjang pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik serta keluasan dan ke dalam bahan pengajaran (UU RI. No. 2 tahun 1989 Bab I, Pasal 1 ayat 5).
Ø Jenjang pendidikan dasar untuk memberikan bekal dasar, atau pendidikan pertama/setara sampai tamat
Ø Jenjang pendidikan menengah selamanya 3 tahun sesudah pendidikan dasar, diselenggarakan di SLTA atau satuan pendidikan sederajat
Ø Jenjang pendidikan tinggi disebut Perguruan Tinggi yang dapat berbentuk akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan Universitas.
D. Program Dan Pengelolaan Pendidikan
a. Jenis Program Pendidikan
Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokan sesuai dengan sifat dan kekhususan tatanannya (UU RI. No. 2 tahun 1989 Bab 1 ayat 4 No.2 Tahun 1989).
1)      Pendidikan umum adalah pendidikan yang mengutamakan perluasan pengetahuan dan keterampilan peserta didik. Pendidikan berfungsi untuk sebagaimana acuan umum bagi jenis pendidikan lainnya. Yang termasuk pendidikan umum: SD, SMP, SMA dan Universitas.
2)      Pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja pada bidang pekerjaan tertentu. Sperti bidang teknik tata boga, dan busana perhotelan, kerajinan, administrasi, perkantoran dan lain-lain lembaga pendidikannya seperti STM.
3)      Pendidikan luar biasa merupakan pendidikan khusus yang diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik/mental yang termasuk pendidikan luar biasa adalah SDLB untuk jenjang dasar, dan PLB untuk jenjang pendidikan menengah memiliki program khusus yaitu program untuk anak tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, dan tuna grahita. Untuk pendidikan gurunya disediakan SGPIB (Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa) setara dengan Diploma III.
4)      Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan khusus yang diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan pemerintah dan non departemen.
5)      Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan khusus yang mempersiapkan peserta didik dalam melaksanakan peranan yang khusus dalam pengetahuan ajaran agama, yang terdiri dari tingkat pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi.
b.      Kurikulum Program Pendidikan
1)       Istilah kurikulum asal mulanya dari dunia olah raga pada zaman Yunani Kuno. Curir berarti “pelari” dan Curere artinya “tempat terpaku” Kurikulum kemudian diartikan “jarak yang harus ditempuh” oleh pelari (Nana Sujana, 1989: 4) berdasarkan arti yang terkandung kurikulum dalam pendidikan dianalogikan sebagai arena tempat peserta didik berlari untuk mencapai “finish” berupa ijazah, diploma, gelar (Zais, 1976 yang dikutip oleh Muhammad Ansyar dan Nurtain, 1992:7)
2)      Tujuan pendidikan nasional dinyatakan di dalam UU RI No. 2 tahun 1989 pasal 3 (a) terwujudnya bangsa yang cerdas, (b) manusia yang utuh beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (c) budi pekerti luhur, (d) terampil dan berpengetahuan, (e) sehat jasmani dan rohani, (f) berkepribadian yang mantap dan mandiri, (g) bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Jadi tuntutan pendidikan nasional diberlakukan untuk semua satuan pendidikan, dari pendidikan pra sekolah, pendidikan tinggi, pendidikan pra sekolah dan pendidikan luar sekolah, pendidikan anak luar biasa, pendidikan kedinasan dan seterusnya.
Pasal 38 ayat 2 menyatakan: Kurikulum yang berlaku secara nasional ditetapkan oleh Menteri. Pimpinan lembaga pemerintah non departemen berdasarkan pelimpahan wewenang dalam negeri.
3)      Untuk muatan lokal unit kecil lazimnya dimulai dari kurikulumnya sedangkan untuk muatan lokal untuk besar dimulai dari muatan lokalnya. Dapat digambarkan sebagai berikut:
E.     Cara Merancang Pengajaran
Cara menjabarkan muatan lokal ke dalam bentuk rancangan pengajaran. Kegiatan ini sudah dimanfaatkan wawasan tentang pendekatan yang digunakan, strategi belajar, metode/teknik, sarana.
1.      Faktor penghambat pelaksanaan muatan lokal
a.       Sifat di pelajaran lokal itu sendiri
b.      Segi ketenagaan
c.       Proses belajar mengajar
d.      Sistem ujian akhir dan ijazah yang diselenggarakan di sekolah
e.       Sarana penunjang bagi pelaksanaan muatan lokal
2.      Faktor penunjang pelaksanaan muatan lokal
a.       Keinginan dari kebanyakan peserta didik untuk cepat memperoleh bekal dan pekerjaan apapun yang membawa hasil
b.      Sarana cukup banyak
c.       Ketenagaan yang bervariasi
d.      Materi muatan lokal yang sudah tercantum sebagai materi kurikulum dan sudah dilaksanakan secara rutin
e.       Media masa khususnya media komunikasi visual seperti TV, Radio
F.     Pembangunan Sistem Pendidikan Nasional
Mengapa Sistem Pendidikan Harus Dibangun? Adalah logis jika system pendidikan merupakan sarana bagi manusia untuk mengantarkan dirinya menuju kepada kesempurnaan itu juga perlu disempurnakan.
Ada yang menggambarkan manusia sebagai makhluk yang selalu “meng-ada” (Drijarkara). Maksudnya manusia itu adalah makhluk yang selalu mencari yang belum ada karena sasaran yang sudah ada. Mencari dan mengadakan yang belum ada berarti berkreasi. Proses mengada itu tidak pernah berhenti sepanjang hayat masih dikandung badan. Ada pula yang menggambarkan manusia itu sebagai hewan yang sakit (das kranke tier), demikian kata Max Scheller. Dilihat dari konstitusi fisiknya manusia sama dengan hewan. Tetapi karena manusia mampu berpikir dan mengerti serta menyadari diri dan lingkungannya, maka dia tidak bisa hanya menyerah dan melekat saja kepada alam seperti hewan. Sebagai hewan yang sakit ia selalu gelisah. Kegelisahannya bersifat ganda. Pertama gelisah karena terdorong untuk menemukan jaln bagaimana dapat menguasai kegelisahannya.
Di samping itu, pengalaman manusia juga berkembang. Itulah sebabnya mengapa system pendidikan sebagai sarana yang menghantar manusia untuk menemukan jawaban atas teka-teki mengenai dirinya, juga selalu disempurnakan.
Selanjutnya persoalan pendidikan juga dapat dilihat sebagai persoalan nasional karena pendidikan berhubungan dengan masa depan bangsa. Jika masyarakat Indonesia (menurut rencana ppembangunan pada Pelita VI berubah dari masyarakat agraris ke masyarakat industry, tentunya pola piker dan perilaku yang dilandasi oleh situasi dan kondisi di mana manusia disibukkan dengan kegiatan industry.
Untuk dapat menyongsong suasana hidup yang diperlukan itu system pendidikan harus berubah. Jika tidak, maka pendidikan sebagai an agent of social change (agen perubahan social) tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Strukturnya, kurikulumnya, pengelolaannya, tenaga kependidikannya mau tidak mau harus disesuaikan denga tuntutan baru tersebut.
G.    Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
H.    Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
Ø Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
Ø Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
Ø Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
Ø Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
Ø Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
Ø Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
Ø Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
Ø Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.
I.       Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1.      Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2.      Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidikan.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih.
Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.
3.      Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standard dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard dan kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofersi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalui peserta didik yang telah menempuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlangsung sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah diikuti oleh peserta didik.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidak hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetahui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi lebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
a)      Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
b)     Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sebagai berikut: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
c)      Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
d)     Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai contoh pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
e)      Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukkan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
f)       Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
g)      Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
J.      Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan.
Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
K.    Sistem Pendidikan di Indonesia saat ini
Pendidikan Indonesia saat ini selalu gembar-gembor tentang kurikulum baru yang katanya lebih bagus, lebih tepat sasaran, lebih kebarat-baratan atau apapun. Yang jelas, Menteri Pendidikan berusaha eksis dengan mengujicobakan formula pendidikan baru dengan mengubah kurikulum.
Agak miris melihat kondisi saat ini. Institusi pendidikan tidak ubahnya seperti pencetak mesin ijazah. Agar laku, sebagian memberikan iming-iming lulus cepat, status disetarakan, dapat ijazah, absen longgar dan lain-lain. Apa yang bisa diharapkan dari pendidikan kering idealisme seperti itu. Ki Hajar Dewantoro mungkin bisa menangis melihat kondisi pendidikan saat ini. Bukan lagi bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa (seperti yang masih tertulis di UUD 45), tapi lebih mirip mesin usang yang mengeluarkan produk yang sulit diandalkan kualitasnya.
Pendidikan lebih diarahkan pada menyiapkan tenaga kerja "buruh" saat ini. Apalagi dengan pengoptimalan pada SMK. Bukan lagi pemikir-pemikir handal yang siap menganalisa kondisi. Karena pola pikir "buruh"lah, segala macam hapalan dijejalkan kepada anak murid. Dan semuanya hanya demi satu kata: IJAZAH! Ya ijazah yang diperlukan untuk mencari pekerjaan. Sangat minim idealisme untuk mengubah kondisi bangsa yang terpecah belah ini, sangat minim untuk mengajarkan filosofi kehidupan, dan sangat minim pula dalam mengajarkan moral.

Kesimpulan
Sistem pendidikan adalah suatu system yang terdiri dari komponen-komponen yang ada dalam proses pendidikan, dimana antara satu komponen dengan komponen yang lainnya saling berhubungan dan berinteraksi untuk mencapai tujuan pendidikan.
Ciri-ciri pendidikan di Indonesia dalam aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya.
Kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya.
Penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.         Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
2.         Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
3.         Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan.
Sistem pendidikan di Indonesia saat ini sangat didasarkan pada kurikulum yang baru hanya untuk menguji cobakan formula pendidikan yng baru.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar