A. PENDIDIKAN SEBAGAI HUMANISASI
Seperti telah dikemukakan dalam
Kegiatan Belajar 2, hakikat tugas dan tujuan hidup manusia tiada lain adalah
menjadi manusia. Tugas dan tujuan hidup manusia adalah membangun atau
"mengadakan" dirinya mendekati manusia ideal. Inilah yang dalam
filsafat disebut self-realization
(realisasi-diri). Realisasi-diri erat hubungannya dengan pandangan tentang
hakikat manusia, yang dapat kita pelajari dengan bersumber dari agama atau
filsafat. Dengan bersumber dari filsafat, hendaknya kita maklumi bahwa
"manusia menjadi manusia yang sebenarnya jika dapat merealisasikan hakikatnya
secara total" (Henderson, 1959). Adapun sebagaimana telah Anda pahami
melalui Kegiatan Belajar 2, manusia dapat menjadi manusia hanya melalui
pendidikan. Implikasinya, dalam rangka mencari pengertian atau mendefinisikan
tentang pendidikan, sewajarnya bertolak dari suatu pandangan tentang manusia
dan diarahkan kepada wujud manusia ideal berdasarkan pandangan tentang manusia
yang dijadikan asumsinya.
Sebagaimana telah dinyatakan di
muka, manusia bertugas dan bertujuan untuk menjadi manusia, sedangkan manusia
dapat menjadi manusia hanya melalui pendidikan. Dalam konteks ini maka
pendidikan dapat didefinisikan sebagai humanisasi
(upaya memanusiakan manusia), yaitu suatu upaya dalam rangka membantu manusia
(peserta didik) agar mampu hidup sesuai dengan
martabat kemanusiaannya. Selanjutnya, mengingat bahwa manusia menjadi
manusia yang sebenarnya jika ia dapat merealisasikan hakikatnya secara total
maka pengertian pendidikan sebagai upaya membantu manusia agar ia mampu hidup
sesuai dengan martabat kemanusiaannya itu harus Anda hubungkan dengan makna
berbagai aspek hakikat manusia sebagaimana telah dipelajari dalam Kegiatan
Belajar 1. Silahkan Anda mencoba untuk menghubungkannya!
Dari Kegiatan Belajar 1 dapat
kita rangkumkan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa; manusia
adalah kesatuan badani-rohani yang hidup dalam ruang dan waktu, sadar akan diri
dan lingkungannya, mempunyai berbagai kebutuhan, insting, nafsu serta tujuan
hidup; manusia memiliki berbagai potensi, yaitu potensi untuk beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbuat baik, cipta, rasa, karsa, dan
karya. Adapun dalam eksistensinya manusia memiliki aspek individualitas,
sosialitas, kultural, moralitas, dan religius. Harus Anda perhatikan
sesungguhnya sosok manusia ini adalah sosok manusia ideal, sosok manusia yang
dicita-citakan atau yang menjadi tujuan, sosok manusia yang belum terwujud
melainkan yang harus diupayakan untuk diwujudkan. Dalam hal ini berarti manusia
lahir dengan potensi, ia lahir belum terspesialisasi, seperti hewan atau
binatang dan bahwa perkembangannya bersifat terbuka. Implikasi dari pandangan
tentang berbagai aspek hakikat manusia tersebut, sebagai humanisasi atau
sebagai upaya membantu manusia agar mampu hidup sesuai dengan martabat
kemanusiaannya maka pendidikan sewajarnya diupayakan dengan tujuan untuk
membantu mengembangkan berbagai potensi yang ada pada manusia. Contohnya adalah
mengembangkan potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, potensi untuk mampu berbuat atau berperilaku baik, potensi untuk mampu
hidup sehat, potensi cipta, rasa, karsa, dan karyanya. Adapun semua potensi
tersebut harus dikembangkan secara menyeluruh dan terpadu dalam konteks aspek
keberagamaan, moralitas, individualitas, sosialitas, dan keberbudayaan.
Demi pencapaian tujuan ini, pendidikan tidak hanya
berlangsung pada satu tahap perkembangan saja, melainkan harus dilaksanakan
sepanjang hayat. Pendidikan tidak cukup dilaksanakan di dalam salah satu
lingkungan pendidikan saja, melainkan di berbagai lingkungan pendidikan. Selain
itu, materi dan cara-cara (metode) pendidikannyapun perlu dipilih atas dasar
asumsi tentang hakikat manusia dan tujuan pendidikan yang diturunkan kepadanya.
Pendidikan adalah upaya menuntun anak sejak lahir untuk mencapai kedewasaan
jasmani dan rohani, dalam interaksi alam beserta lingkungan sekitar tempat dia
berada.
Dalam
pendidikan terdapat tiga hal penting, yaitu aspek kognitif (berpikir), aspek
gerak (psikomotorik), dan aspek afektif (merasa). Sebagai ilustrasi, saat kita
mempelajari sesuatu maka di dalamnya tidak saja proses berpikir yang ambil
bagian, tetapi juga ada unsur-unsur yang berkaitan dengan mengekspresikan rasa
suka tersebut, perasaan seperti semangat, suka, dan lain-lain.
Pendidikan secara umum bertujuan
membantu manusia menemukan akan hakikat kemanusiaannya. Maksudnya, pendidikan
harus mampu mewujudkan manusia seutuhnya. Pendidikan berfungsi melakukan proses
penyadaran terhadap manusia untuk mampu mengenal, mengerti, dan memahami
realitas kehidupan yang ada di sekelilingnya. Dengan adanya pendidikan,
diharapkan manusia mampu menyadari potensi yang ia miliki sebagi makhluk yang
berpikir. Potensi yang dimaksud adalah potensi ruhaniyah (spiritual), nafsiyah
(jiwa), aqliyah (pikiran), dan jasmaniyah (tubuh). Dengan melakukan proses
berpikir manusia akan menemukan eksistensi kehadirannya sebagai makhluk yang
telah diberi akal oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Pendidikan merupakan proses
memanusiakan manusia baik dalam bentuk formal maupun informal. Pendidikan dalam
bentuk formal adalah pengajaran, yakni proses transfer pengetahuan atau usaha
mengembangkan dan mengeluarkan potensi intelektualitas dari dalam diri manusia.
Intelektualitas dan pengetahuan itu pun belum sepenuhnya mewakili diri manusia.
Oleh karena itu, pendidikan bukan hanya sekedar transfer of knowledge atau peralihan ilmu pengetahuan semata, akan
tetapi dengan adanya pendidikan diharapkan peserta didik mampu mengetahui dan
memahami eksistensi dan potensi yang mereka miliki.
Di sinilah akhir dari tujuan
pendidikan, yakni melakukan proses “humanisasi” (memanusiakan manusia) yang
berujung pada proses pembebasan. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa manusia
dalam sistem dan struktur sosial mengalami dehumanisasi karena eksploitasi
kelas, dominasi gender, maupun hegemoni budaya lain. Oleh karena itu,
pendidikan merupakan sarana untuk memproduksi kesadaran dalam mengembalikan
kemanusiaan manusia, dan dalam kaitan ini, pendidikan berperan untuk
membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat upaya untuk pembebasan.
Jadi, yang dimaksud bahwa pendidikan adalah proses
memanusiakan manusia adalah pendidikan mengantarkan peserta didik menuju
kematangan dan kedewasaan rohani dan jasmani, sehingga peserta didik dapat
menjadi manusia
yang
benar-benar sempurna (manusia seutuhnya) baik dari aspek kecerdasan, emosional,
spiritual, sikap, dan sebagainya.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa
humanisasi pendidikan mempunyai arti yang cukup luas dan komprehensif meliputi
berbagai pengertian pendidikan berdasarkan pendekatan monodisipliner. Sebagai humanisasi pendidikan, antara lain berarti
sebagai upaya pengembangan potensi manusia (sudut pandang psikologi). Dalam
pengertian ini, ada berbagai potensi yang harus dikembangkan, contohnya SQ (Spiritual Quotient atau Kecerdasan
Spiritual) agar setiap tindakannya dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. EQ (Emotional
Quotient atau Kecerdasan Emosi) agar manusia mampu mengendalikan emosinya,
memahami perasaan orang lain. IQ (Intelligence
Quotient atau Kecerdasan Inteligensi) agar manusia memiliki kemampuan
berhitung, kemampuan verbal, kemampuan membedakan, dan membuat prioritas. SocQ
(Social Quotient atau Kecerdasan
Sosial) agar manusia senang berkomunikasi, berteman, menolong, membuat orang
lain bahagia, dan bekerja sama. Pendidikan juga berarti personalisasi atau
individualisasi, yaitu agar manusia menjadi pribadi atau individu yang mantap.
Contohnya, mampu hidup bebas dan bertanggung jawab, berperan sebagai subjek.
Selain itu, sebagai humanisasi pendidikan juga berarti sosialisasi (sudut
pandang sosiologi), sivilisasi (sudut pandang politik), enkulturasi (sudut
pandang antropologi), pembinaan manusia beriman dan bertakwa (sudut pandang religi),
serta pembinaan manusia bermoral (sudut pandang etika). Pendidikan meliputi
berbagai aspek, yaitu berkenaan dengan aspek-aspek intelektual, sosial,
emosional, dan spiritual atau berkenaan dengan nilai, pengetahuan, sikap, dan
keterampilan. Pendidikan juga meliputi berbagai kegiatan, contohnya pengajaran,
bimbingan, latihan, dan berbagai kegiatan lainnya yang bersifat positif dalam
rangka mengembangkan berbagai aspek hakikat manusia sehingga manusia mampu
hidup sesuai martabat kemanusiaannya.
B. PENDIDIKAN DAN HAK ASASI MANUSIA
sipil dibangun baik pemerintah maupun masyarakat
tidak dapat mencabutnya. Semua orang diciptakan sama, setiap orang dikaruniai
Tuhan dengan hak-hak tertentu yang tidak dapat dicabut. Hak-hak tersebut,
antara lain hak hidup, kebebasan, dan pengejaran kebahagiaan. Di samping itu,
hak asasi meliputi
atas pendidikan. Kesempatan pendidikan yang memadai
harus menjadi hak bawaan setiap anak (United States Information Agency, 1991).
Pendidikan
sebagai upaya agar manusia memperoleh hak-haknya yang asasi. Menurut sejarah, di negara-negara Eropa mula-mula
muncul masalah mengenai hak-hak
manusia yang telah diinjak-injak oleh pemerintahan monarki atau absolutisme
sebab pada mulanya yang menjadi masalah pokok mengenai pendidikan ialah
bagaimana individu itu memperoleh hak-haknya yang asasi. Oleh karena itu pula,
tugas negara adalah menjamin berkembangnya hak-hak individu tersebut. Dengan
diperolehnya kesempatan tersebut maka warga negara itu mempunyai kesamaan yang
aktual dan oleh sebab itu, dia dapat memberikan kemampuannya kepada negara.
Menurut Condorcet, inilah tujuan pokok pendidikan nasional, dan dilihat dari
segi ini, pendidikan merupakan tugas pemerintah yang adil (H.A.R., Tilaar:
1995).
Hak Asasi
sebagai Dasar Demokrasi Pendidikan.
Lahirnya republik modern pertama di
dunia, yaitu Amerika Serikat pada tahun 1776, belum disertai dengan perubahan
dalam bidang pendidikan. Tanpa pendidikan, kemerdekaan menjadi tidak mungkin.
Gagasan equalitarianisme Jefferson
yang mengagungkan konsep rakyat biasa (the
common man) ini memang belum sepenuhnya diterima oleh kesadaran politik
pada waktu itu. Perjuangan kemerdekaan Amerika meletakkan dasar-dasar pada
kesamaan hak ekonomi dan politik manusia biasa. Berdasarkan asumsi bahwa tidak
ada manusia yang lebih dari manusia yang lain maka setiap manusia mempunyai hak
yang sama, demikian pula di dalam pendidikan. Demikianlah gagasan Andrew
Jackson.
Andrew Jackson
Dari perkembangan hak-hak pendidikan ini pada abad ke-19 mulailah
terbentuk sistem pendidikan rakyat di Amerika Serikat di bawah pimpinan Horace
Mann di Massachussets, Henry Barnard di Connecticut, yang menunjukkan lahirnya
suatu sistem pendidikan rakyat dengan kewajiban belajar.
Model pendidikan yang demokratis juga mendapatkan
dasarnya dari John Dewey dalam bukunya Democracy
and Education (1916). Dewey menyatakan bahwa demokrasi merupakan sesuatu
yang lebih dari pada suatu pengertian politik; demokrasi merupakan suatu
kehidupan bersama yang saling berkaitan dan saling mengomunikasikan pengalaman.
Suatu masyarakat hanya akan ada karena suatu komunikasi dan saling membagi
pengetahuan, dan itulah kriteria etis suatu masyarakat yang baik. Jadi,
demokrasi dan pendidikan merupakan dua muka dari suatu mata uang, demokrasi
tidak dapat hidup tanpa pendidikan, sebaliknya pendidikan yang baik tidak akan
hidup dalam suatu masyarakat yang tidak demokratis. Tahun 1982, Mortimer J.
Adler atas nama anggota-anggota Paideia menyatakan,
“Kita secara politik adalah suatu masyarakat tanpa kelas”. Rakyat kita secara keseluruhanlah yang merupakan kelas yang
memerintah kita. Oleh karena itu, kita harus merupakan suatu masyarakat tanpa
kelas di bidang pendidikan. Makna yang paling dalam dari persamaan sosial
adalah kualitas kehidupan yang sama bagi semua, yang menuntut kualitas
pendidikan yang sama bagi semua (Mortimer J. Adler, 1982).
Pendidikan
sebagai Hak Setiap Warga Negara. Hak untuk
mendapatkan pendidikan bagi setiap
warga negara tertuang dalam Pasal 31 UUD Rl 1945, sebagai berikut.
1.
Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
2.
Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya.
3.
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang.
4.
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah, untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
dinyatakan bahwa "pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan
bangsa" (ayat I, Pasal 4). Selanjutnya, ayat (1) Pasal 5 menyatakan:
"Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu".
Berkenaan dengan hak warga negara untuk mendapatkan
pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas, terdapat kewajiban dari pihak orang
tua, masyarakat, dan pemerintah untuk dapat mewujudkannya. Sebagai jaminan atas
hak tersebut, dalam Pasal 7 UU RI Nomor 20 Tahun 2003 ditegaskan: "Orang
tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar
kepada anaknya", sedangkan "masyarakat berkewajiban memberikan
dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan" (Pasal 9). Adapun
kewajiban pemerintah diatur dalam Pasal 11 sebagai berikut.
1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,
serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga
negara tanpa diskriminasi.
2. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai
dengan lima belas tahun.