Rabu, 09 Oktober 2019

Materi 3 LP: Pendidikan, Martabat, dan Hak Asasi Manusia


A.  PENDIDIKAN SEBAGAI HUMANISASI

Seperti telah dikemukakan dalam Kegiatan Belajar 2, hakikat tugas dan tujuan hidup manusia tiada lain adalah menjadi manusia. Tugas dan tujuan hidup manusia adalah membangun atau "mengadakan" dirinya mendekati manusia ideal. Inilah yang dalam filsafat disebut self-realization (realisasi-diri). Realisasi-diri erat hubungannya dengan pandangan tentang hakikat manusia, yang dapat kita pelajari dengan bersumber dari agama atau filsafat. Dengan bersumber dari filsafat, hendaknya kita maklumi bahwa "manusia menjadi manusia yang sebenarnya jika dapat merealisasikan hakikatnya secara total" (Henderson, 1959). Adapun sebagaimana telah Anda pahami melalui Kegiatan Belajar 2, manusia dapat menjadi manusia hanya melalui pendidikan. Implikasinya, dalam rangka mencari pengertian atau mendefinisikan tentang pendidikan, sewajarnya bertolak dari suatu pandangan tentang manusia dan diarahkan kepada wujud manusia ideal berdasarkan pandangan tentang manusia yang dijadikan asumsinya.

Sebagaimana telah dinyatakan di muka, manusia bertugas dan bertujuan untuk menjadi manusia, sedangkan manusia dapat menjadi manusia hanya melalui pendidikan. Dalam konteks ini maka pendidikan dapat didefinisikan sebagai humanisasi (upaya memanusiakan manusia), yaitu suatu upaya dalam rangka membantu manusia (peserta didik) agar mampu hidup sesuai dengan


martabat kemanusiaannya. Selanjutnya, mengingat bahwa manusia menjadi manusia yang sebenarnya jika ia dapat merealisasikan hakikatnya secara total maka pengertian pendidikan sebagai upaya membantu manusia agar ia mampu hidup sesuai dengan martabat kemanusiaannya itu harus Anda hubungkan dengan makna berbagai aspek hakikat manusia sebagaimana telah dipelajari dalam Kegiatan Belajar 1. Silahkan Anda mencoba untuk menghubungkannya!

Dari Kegiatan Belajar 1 dapat kita rangkumkan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa; manusia adalah kesatuan badani-rohani yang hidup dalam ruang dan waktu, sadar akan diri dan lingkungannya, mempunyai berbagai kebutuhan, insting, nafsu serta tujuan hidup; manusia memiliki berbagai potensi, yaitu potensi untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbuat baik, cipta, rasa, karsa, dan karya. Adapun dalam eksistensinya manusia memiliki aspek individualitas, sosialitas, kultural, moralitas, dan religius. Harus Anda perhatikan sesungguhnya sosok manusia ini adalah sosok manusia ideal, sosok manusia yang dicita-citakan atau yang menjadi tujuan, sosok manusia yang belum terwujud melainkan yang harus diupayakan untuk diwujudkan. Dalam hal ini berarti manusia lahir dengan potensi, ia lahir belum terspesialisasi, seperti hewan atau binatang dan bahwa perkembangannya bersifat terbuka. Implikasi dari pandangan tentang berbagai aspek hakikat manusia tersebut, sebagai humanisasi atau sebagai upaya membantu manusia agar mampu hidup sesuai dengan martabat kemanusiaannya maka pendidikan sewajarnya diupayakan dengan tujuan untuk membantu mengembangkan berbagai potensi yang ada pada manusia. Contohnya adalah mengembangkan potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, potensi untuk mampu berbuat atau berperilaku baik, potensi untuk mampu hidup sehat, potensi cipta, rasa, karsa, dan karyanya. Adapun semua potensi tersebut harus dikembangkan secara menyeluruh dan terpadu dalam konteks aspek keberagamaan, moralitas, individualitas, sosialitas, dan keberbudayaan.

Demi pencapaian tujuan ini, pendidikan tidak hanya berlangsung pada satu tahap perkembangan saja, melainkan harus dilaksanakan sepanjang hayat. Pendidikan tidak cukup dilaksanakan di dalam salah satu lingkungan pendidikan saja, melainkan di berbagai lingkungan pendidikan. Selain itu, materi dan cara-cara (metode) pendidikannyapun perlu dipilih atas dasar asumsi tentang hakikat manusia dan tujuan pendidikan yang diturunkan kepadanya. Pendidikan adalah upaya menuntun anak sejak lahir untuk mencapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi alam beserta lingkungan sekitar tempat dia berada.


Dalam pendidikan terdapat tiga hal penting, yaitu aspek kognitif (berpikir), aspek gerak (psikomotorik), dan aspek afektif (merasa). Sebagai ilustrasi, saat kita mempelajari sesuatu maka di dalamnya tidak saja proses berpikir yang ambil bagian, tetapi juga ada unsur-unsur yang berkaitan dengan mengekspresikan rasa suka tersebut, perasaan seperti semangat, suka, dan lain-lain.

Pendidikan secara umum bertujuan membantu manusia menemukan akan hakikat kemanusiaannya. Maksudnya, pendidikan harus mampu mewujudkan manusia seutuhnya. Pendidikan berfungsi melakukan proses penyadaran terhadap manusia untuk mampu mengenal, mengerti, dan memahami realitas kehidupan yang ada di sekelilingnya. Dengan adanya pendidikan, diharapkan manusia mampu menyadari potensi yang ia miliki sebagi makhluk yang berpikir. Potensi yang dimaksud adalah potensi ruhaniyah (spiritual), nafsiyah (jiwa), aqliyah (pikiran), dan jasmaniyah (tubuh). Dengan melakukan proses berpikir manusia akan menemukan eksistensi kehadirannya sebagai makhluk yang telah diberi akal oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia baik dalam bentuk formal maupun informal. Pendidikan dalam bentuk formal adalah pengajaran, yakni proses transfer pengetahuan atau usaha mengembangkan dan mengeluarkan potensi intelektualitas dari dalam diri manusia. Intelektualitas dan pengetahuan itu pun belum sepenuhnya mewakili diri manusia. Oleh karena itu, pendidikan bukan hanya sekedar transfer of knowledge atau peralihan ilmu pengetahuan semata, akan tetapi dengan adanya pendidikan diharapkan peserta didik mampu mengetahui dan memahami eksistensi dan potensi yang mereka miliki.

Di sinilah akhir dari tujuan pendidikan, yakni melakukan proses “humanisasi” (memanusiakan manusia) yang berujung pada proses pembebasan. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial mengalami dehumanisasi karena eksploitasi kelas, dominasi gender, maupun hegemoni budaya lain. Oleh karena itu, pendidikan merupakan sarana untuk memproduksi kesadaran dalam mengembalikan kemanusiaan manusia, dan dalam kaitan ini, pendidikan berperan untuk membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat upaya untuk pembebasan.

Jadi, yang dimaksud bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia adalah pendidikan mengantarkan peserta didik menuju kematangan dan kedewasaan rohani dan jasmani, sehingga peserta didik dapat menjadi manusia


yang benar-benar sempurna (manusia seutuhnya) baik dari aspek kecerdasan, emosional, spiritual, sikap, dan sebagainya.

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa humanisasi pendidikan mempunyai arti yang cukup luas dan komprehensif meliputi berbagai pengertian pendidikan berdasarkan pendekatan monodisipliner. Sebagai humanisasi pendidikan, antara lain berarti sebagai upaya pengembangan potensi manusia (sudut pandang psikologi). Dalam pengertian ini, ada berbagai potensi yang harus dikembangkan, contohnya SQ (Spiritual Quotient atau Kecerdasan Spiritual) agar setiap tindakannya dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. EQ (Emotional Quotient atau Kecerdasan Emosi) agar manusia mampu mengendalikan emosinya, memahami perasaan orang lain. IQ (Intelligence Quotient atau Kecerdasan Inteligensi) agar manusia memiliki kemampuan berhitung, kemampuan verbal, kemampuan membedakan, dan membuat prioritas. SocQ (Social Quotient atau Kecerdasan Sosial) agar manusia senang berkomunikasi, berteman, menolong, membuat orang lain bahagia, dan bekerja sama. Pendidikan juga berarti personalisasi atau individualisasi, yaitu agar manusia menjadi pribadi atau individu yang mantap. Contohnya, mampu hidup bebas dan bertanggung jawab, berperan sebagai subjek. Selain itu, sebagai humanisasi pendidikan juga berarti sosialisasi (sudut pandang sosiologi), sivilisasi (sudut pandang politik), enkulturasi (sudut pandang antropologi), pembinaan manusia beriman dan bertakwa (sudut pandang religi), serta pembinaan manusia bermoral (sudut pandang etika). Pendidikan meliputi berbagai aspek, yaitu berkenaan dengan aspek-aspek intelektual, sosial, emosional, dan spiritual atau berkenaan dengan nilai, pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Pendidikan juga meliputi berbagai kegiatan, contohnya pengajaran, bimbingan, latihan, dan berbagai kegiatan lainnya yang bersifat positif dalam rangka mengembangkan berbagai aspek hakikat manusia sehingga manusia mampu hidup sesuai martabat kemanusiaannya.

B.    PENDIDIKAN DAN HAK ASASI MANUSIA

John Locke menyatakan bahwa hak adalah milik manusia karena usahanya, namun natura ini adalah natura sosial maka dengan apa yang saya anggap sebagai hak saya, saya juga diwajibkan mengakui adanya orang lain (Henderson, 1959). Adapun hak asasi adalah hak yang dasar atau pokok (KBBI, 1995). Hak asasi manusia merupakan hak-hak alamiah yang tidak dapat dicabut karena ini adalah karunia Tuhan. Hak-hak ini tidak hancur ketika masyarakat
sipil dibangun baik pemerintah maupun masyarakat tidak dapat mencabutnya. Semua orang diciptakan sama, setiap orang dikaruniai Tuhan dengan hak-hak tertentu yang tidak dapat dicabut. Hak-hak tersebut, antara lain hak hidup, kebebasan, dan pengejaran kebahagiaan. Di samping itu, hak asasi meliputi

kebebasan berbicara, kebebasan beragama, kebebasan berkumpul dan berserikat, perlindungan yang sama di depan hukum, dan hak atas proses sewajarnya serta pengadilan yang jujur. Sebagai prinsip, perlindungan hak-hak asasi manusia diterima secara luas, ini tertuang dalam konstitusi tertulis di seluruh dunia serta dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Akhir-akhir ini ada kecenderungan, terutama di kalangan organisasi internasional untuk memperluas daftar hak asasi manusia. Kelompok-kelompok ini, antara lain menyebut
atas pendidikan. Kesempatan pendidikan yang memadai harus menjadi hak bawaan setiap anak (United States Information Agency, 1991).

Pendidikan sebagai upaya agar manusia memperoleh hak-haknya yang asasi. Menurut sejarah, di negara-negara Eropa mula-mula muncul masalah mengenai hak-hak manusia yang telah diinjak-injak oleh pemerintahan monarki atau absolutisme sebab pada mulanya yang menjadi masalah pokok mengenai pendidikan ialah bagaimana individu itu memperoleh hak-haknya yang asasi. Oleh karena itu pula, tugas negara adalah menjamin berkembangnya hak-hak individu tersebut. Dengan diperolehnya kesempatan tersebut maka warga negara itu mempunyai kesamaan yang aktual dan oleh sebab itu, dia dapat memberikan kemampuannya kepada negara. Menurut Condorcet, inilah tujuan pokok pendidikan nasional, dan dilihat dari segi ini, pendidikan merupakan tugas pemerintah yang adil (H.A.R., Tilaar: 1995).

Hak Asasi sebagai Dasar Demokrasi Pendidikan. Lahirnya republik modern pertama di dunia, yaitu Amerika Serikat pada tahun 1776, belum disertai dengan perubahan dalam bidang pendidikan. Tanpa pendidikan, kemerdekaan menjadi tidak mungkin. Gagasan equalitarianisme Jefferson yang mengagungkan konsep rakyat biasa (the common man) ini memang belum sepenuhnya diterima oleh kesadaran politik pada waktu itu. Perjuangan kemerdekaan Amerika meletakkan dasar-dasar pada kesamaan hak ekonomi dan politik manusia biasa. Berdasarkan asumsi bahwa tidak ada manusia yang lebih dari manusia yang lain maka setiap manusia mempunyai hak yang sama, demikian pula di dalam pendidikan. Demikianlah gagasan Andrew Jackson.

Andrew Jackson

Dari perkembangan hak-hak pendidikan ini pada abad ke-19 mulailah terbentuk sistem pendidikan rakyat di Amerika Serikat di bawah pimpinan Horace Mann di Massachussets, Henry Barnard di Connecticut, yang menunjukkan lahirnya suatu sistem pendidikan rakyat dengan kewajiban belajar.

Model pendidikan yang demokratis juga mendapatkan dasarnya dari John Dewey dalam bukunya Democracy and Education (1916). Dewey menyatakan bahwa demokrasi merupakan sesuatu yang lebih dari pada suatu pengertian politik; demokrasi merupakan suatu kehidupan bersama yang saling berkaitan dan saling mengomunikasikan pengalaman. Suatu masyarakat hanya akan ada karena suatu komunikasi dan saling membagi pengetahuan, dan itulah kriteria etis suatu masyarakat yang baik. Jadi, demokrasi dan pendidikan merupakan dua muka dari suatu mata uang, demokrasi tidak dapat hidup tanpa pendidikan, sebaliknya pendidikan yang baik tidak akan hidup dalam suatu masyarakat yang tidak demokratis. Tahun 1982, Mortimer J. Adler atas nama anggota-anggota Paideia menyatakan, “Kita secara politik adalah suatu masyarakat tanpa kelas”. Rakyat kita secara keseluruhanlah yang merupakan kelas yang memerintah kita. Oleh karena itu, kita harus merupakan suatu masyarakat tanpa kelas di bidang pendidikan. Makna yang paling dalam dari persamaan sosial adalah kualitas kehidupan yang sama bagi semua, yang menuntut kualitas pendidikan yang sama bagi semua (Mortimer J. Adler, 1982).

Pendidikan sebagai Hak Setiap Warga Negara. Hak untuk mendapatkan pendidikan bagi setiap warga negara tertuang dalam Pasal 31 UUD Rl 1945, sebagai berikut.

1.       Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

2.       Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
3.       Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
4.       Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah, untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa "pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa" (ayat I, Pasal 4). Selanjutnya, ayat (1) Pasal 5 menyatakan: "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu".

Berkenaan dengan hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas, terdapat kewajiban dari pihak orang tua, masyarakat, dan pemerintah untuk dapat mewujudkannya. Sebagai jaminan atas hak tersebut, dalam Pasal 7 UU RI Nomor 20 Tahun 2003 ditegaskan: "Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya", sedangkan "masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan" (Pasal 9). Adapun kewajiban pemerintah diatur dalam Pasal 11 sebagai berikut.

1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
2.  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.

Hak untuk mendapatkan pendidikan bagi warga negara telah dinyatakan sejak tanggal 18 Agustus 1945 ketika PPKI menetapkan UUD 1945 sebagai dasar konstitusional negara Indonesia. Adapun kewajiban belajar telah dinyatakan sejak 1950 hingga sekarang, sekalipun terdapat berbagai kendala dan pelaksanaannya.

Materi 2 LP: Hubungan Hakikat Manusia dengan Pendidikan


      
A. ASAS-ASAS KEHARUSAN ATAU PERLUNYA PENDIDIKAN BAGI MANUSIA

1.       Manusia sebagai Makhluk yang Belum Selesai

Manusia disebut “Homo Sapiens”, artinya makhluk yang mempunyai

kemampuan untuk berilmu pengetahuan. Salah satu insting manusia adalah selalu cenderung ingin mengetahui segala sesuatu di sekelilingnya yang belum diketahuinya. Berawal dari rasa ingin tahu maka timbullah ilmu pengetahuan.

Dalam hidupnya manusia digerakkan sebagian oleh kebutuhan untuk mencapai sesuatu, dan sebagian lagi oleh tanggung jawab sosial dalam masyarakat. Manusia bukan hanya mempunyai kemampuan-kemampuan, tetapi juga mempunyai keterbatasan-keterbatasan, dan juga tidak hanya mempunyai sifat-sifat yang baik, namun juga mempunyai sifat-sifat yang kurang baik.

Manusia tidak mampu menciptakan dirinya sendiri, beradanya manusia di dunia bukan pula sebagai hasil evolusi tanpa Pencipta sebagaimana diyakini penganut Evolusionisme, melainkan sebagai ciptaan Tuhan. Berkenaan dengan ini, coba Anda simak pertanyaan berikut dan jawablah berdasarkan pengalaman hidup Anda sendiri: setelah diciptakan Tuhan dan setelah kelahirannya di dunia, "apakah manusia sudah selesai menjadi manusia"?

Mari kita bandingkan antara manusia dengan benda-benda. Sama halnya dengan manusia, benda-benda juga adalah ciptaan Tuhan. Namun demikian, benda-benda berbeda dengan manusia, antara lain dalam hal cara beradanya.
Benda-benda hanya terletak begitu saja di dunia, tidak aktif mengadakan "dirinya", dan tidak memiliki hubungan dengan keberadaannya. Contohnya, sebatang kayu yang tergeletak diambil manusia, lalu dijadikan kursi. Kayu tentu tidak aktif mengadakan "diri"nya untuk menjadi kursi, melainkan dibuat menjadi kursi oleh manusia; dan kita tidak dapat mengatakan bahwa kursi bertanggung jawab atas fakta bahwa ia adalah kursi. Oleh sebab itu, dalam istilah Martin Heidegger benda-benda di sebut sebagai "yang berada", dan bahwa benda-benda itu hanya "vorhanden", artinya hanya terletak begitu saja di depan orang, tanpa ada hubungannya dengan orang itu; benda-benda baru berarti sebagai sesuatu, misalnya sebagai kursi jika dihubungkan dengan manusia yang membuatnya, yang memeliharanya atau menggunakannya. Sebaliknya manusia, ia bereksistensi di dunia. Artinya, manusia secara aktif "mengadakan" dirinya, tetapi bukan dalam arti menciptakan dirinya sebagaimana Tuhan menciptakan manusia, melainkan manusia harus bertanggung jawab atas keberadaan dirinya, ia harus bertanggung jawab menjadi apa atau menjadi siapa nantinya. Bereksistensi berarti merencanakan, berbuat, dan menjadi sehingga setiap saat manusia dapat menjadi lebih atau kurang dari keadaannya. Dalam kalimat lain dapat dinyatakan bahwa manusia bersifat terbuka, manusia adalah makhluk yang belum selesai "mengadakan" dirinya.

Sejalan dengan pernyataan terdahulu, telah dikemukakan dalam kegiatan belajar satu bahwa sebagai kesatuan badani-rohani manusia memiliki historisitas dan hidup bertujuan. Oleh karena itu, eksistensi manusia terpaut dengan masa lalunya (misal ia berada karena diciptakan Tuhan, lahir ke dunia dalam keadaan tidak berdaya sehingga memerlukan bantuan orang tuanya atau orang lain, dan seterusnya), serta sekaligus menjangkau masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Manusia berada dalam perjalanan hidup, perkembangan, dan pengembangan diri. la adalah manusia, tetapi sekaligus "belum selesai" mewujudkan diri sebagai manusia.

2.       Tugas dan Tujuan Manusia adalah Menjadi Manusia

Sejak kelahirannya manusia memang adalah manusia, tetapi ia tidak secara

otomatis menjadi manusia dalam arti dapat memenuhi berbagai aspek hakikat manusia.
    Sebagai individu atau pribadi, manusia bersifat otonom, ia bebas menentukan pilihannya ingin menjadi apa atau menjadi siapa di masa depannya. Demikian halnya, benarkah bahwa mewujudkan berbagai aspek hakikat manusia (atau menjadi manusia) adalah tugas setiap orang? Jika setiap orang bebas menentukan pilihannya, bukankah berarti ia bebas pula menentukan untuk tidak menjadi manusia? Memang tiap orang bebas menentukan pilihannya untuk menjadi apa atau menjadi siapa nantinya di masa depan, tetapi sejalan dengan konsep yang telah diuraikan terdahulu bahwa bereksistensi berarti berupaya secara aktif dan secara bertanggung jawab untuk mengadakan diri sebagai manusia. Andaikan seseorang menentukan pilihan dan berupaya untuk tidak menjadi manusia atau tidak mewujudkan aspek-aspek hakikatnya sebagai manusia maka berarti yang bersangkutan menurunkan martabat kemanusiaannya. Dalam konteks inilah manusia menjadi kurang atau tidak manusiawi, kurang atau tidak bertanggung jawab atas keberadaan dirinya sebagai manusia. Ia menurunkan martabatnya dari tingkat human ke tingkat yang lebih rendah, mungkin ke tingkat hewan, tumbuhan, atau bahkan ke tingkat benda. Sebagai pribadi setiap orang memang otonom, ia bebas menentukan pilihannya, tetapi bahwa bebas itu selalu berarti terikat pada nilai-nilai tertentu yang menjadi pilihannya dan dengan kebebasannya itulah seseorang pribadi wajib bertanggung jawab serta akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh sebab itu, tiada makna lain bahwa berada sebagai manusia adalah mengemban tugas dan mempunyai tujuan untuk menjadi manusia, atau bertugas mewujudkan berbagai aspek hakikat manusia. Karl Jaspers menyatakannya dalam kalimat: "to be a man is to become a man", ada sebagai manusia adalah menjadi manusia (Fuad Hasan, 1973). Implikasinya jika seseorang tidak selalu berupaya untuk menjadi manusia maka ia tidaklah berada sebagai manusia.

Berbagai aspek hakikat manusia pada dasarnya adalah potensi yang harus diwujudkan setiap orang. Oleh sebab itu, berbagai aspek hakikat manusia merupakan sosok manusia ideal, merupakan gambaran manusia yang dicita-citakan atau yang menjadi tujuan. Sosok manusia ideal tersebut belum terwujud melainkan harus diupayakan untuk diwujudkan.

3.       Perkembangan Manusia Bersifat Terbuka

Manusia dilahirkan ke dunia dengan mengemban suatu keharusan untuk

menjadi manusia, ia diciptakan dalam susunan yang terbaik, dan dibekali berbagai potensi untuk dapat menjadi manusia. Namun demikian, dalam kenyataan hidupnya, perkembangan manusia bersifat terbuka atau mengandung berbagai kemungkinan. Manusia berkembang sesuai kodrat dan martabat kemanusiaannya atau mampu menjadi manusia, sebaliknya mungkin pula ia berkembang ke arah yang kurang sesuai atau bahkan tidak sesuai dengan kodrat dan martabat kemanusiaannya.
Gehlen seorang pemikir Jerman mengemukakan hasil studi perbandingannya tentang perkembangan struktur dan fungsi tubuh manusia dengan binatang. la sampai pada kesimpulan yang sama dengan Teori Retardasi dari Bolk, yaitu bahwa pada saat kelahirannya taraf perkembangan manusia tidak lebih maju dari hewan, tetapi kurang maju daripada hewan yang paling dekat dengan dia (primat) sekalipun. Manusia lahir prematur dan tidak mengenal spesialisasi seperti hewan. "Ia adalah makhluk yang ditandai kekurangan" (C.A. Van Peursen, 1982). Contoh sebagai berikut: kerbau lahir sebagai anak kerbau, selanjutnya ia hidup sesuai kodrat dan martabat kekerbauannya (mengkerbau atau menjadi kerbau). Sebaliknya manusia, ia lahir sebagai anak manusia, tetapi dalam kelanjutan hidupnya memanusia atau menjadi manusia adalah suatu kemungkinan, mungkin ia memanusia, tetapi mungkin pula kurang atau bahkan tidak memanusia. Jika dibandingkan dengan hewan, manusia sepertinya dilahirkan terlalu dini. Sebelum ia disiapkan dengan spesialisasi tertentu dan sebelum ia mampu menolong dirinya sendiri, ia sudah dilahirkan. Akibatnya sebagi berikut.

1. Berbeda dengan hewan, kelanjutan hidup manusia menunjukkan keragaman. Ragam dalam hal kesehatannya, dalam dimensi kehidupan individualitasnya, sosialitasnya, keberbudayaannya, kesusilaannya, dan keberagamaannya.
2. Saat dilahirkannya, manusia belum mempunyai spesialisasi tertentu maka spesialisasinya itu harus diperoleh setelah ia lahir dalam perkembangan menuju kedewasaannya.

Keluarga tempat tumbuh kembang anak

Anne Rollet mengemukakan bahwa sampai tahun 1976 para etnolog telah mencatat kira-kira 60 anak anak buas di seluruh dunia. Tidak diketahui bagaimana awalnya anak-anak tersebut hidup dan dipelihara oleh binatang yang hidup bersama atau dipelihara oleh kijang, kera, ada pula yang hidup dengan serigala. Anak-anak tersebut tidak berperilaku bagaimana layaknya manusia. Tidak berpakaian, agresif untuk menyerang dan menggigit, tidak dapat tertawa, ada yang tidak dapat berjalan tegak, tidak berbahasa sebagaimana manusia. (Intisari, No. 160 Tahun ke XIII, November 1976). Salah satu kasus serupa dikemukakan M.I. Soelaeman (1988), ia mengemukakan suatu peristiwa yang dikenal dengan peristiwa manusia serigala:

Seorang pemburu menemukan di tengah-tengah hutan belantara dua orang anak sekitar enam dan tujuh tahun, ketika anak itu melihat pemburu, mereka lari .... di atas kaki dan tangannya sambil mengeluarkan suara seperti meraung-raung. Mereka masuk gua, mencari perlindungan pada seekor .... serigala. Tapi akhirnya kedua anak itu berhasil ditangkap dan kemudian dibawa ke kota dan dijadikan bahan studi para ahli. Setelah melalui kesukaran, kedua anak itu dapat dididik kembali seperti biasa.

Dari peristiwa di atas, kita dapat memahami bahwa kemampuan berjalan tegak di atas dua kaki, kemampuan berbicara, dan kemampuan berperilaku lainnya yang lazim dilakukan manusia yang berkebudayaan, tidak dibawa manusia sejak kelahirannya. Demikian halnya dengan kesadaran akan tujuan hidupnya, kemampuan untuk hidup sesuai individualitas, sosialitasnya, tidak dibawa manusia sejak kelahirannya, melainkan harus diperoleh manusia melalui belajar, melalui bantuan berupa pengajaran, bimbingan, latihan, dan kegiatan lainnya yang dapat dirangkumkan dalam istilah pendidikan. Jika sejak kelahirannya perkembangan dan pengembangan hidup manusia diserahkan kepada dirinya masing-masing tanpa dididik oleh orang lain, kemungkinannya ia hanya akan hidup berdasarkan dorongan instingnya saja.

Sampai di sini dapat dipahami bahwa manusia belum selesai menjadi manusia, ia dibebani keharusan untuk menjadi manusia, tetapi ia tidak dengan sendirinya menjadi manusia, adapun untuk menjadi manusia ia memerlukan pendidikan atau harus dididik. "Man can become man through education only", demikian pernyataan Immanuel Kant dalam teori pendidikannya (Henderson, 1959). Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil studi M. J. Langeveld, bahkan sehubungan dengan kodrat manusia, seperti dikemukakan Langeveld memberikan identitas kepada manusia dengan sebutan Animal Educandum (M.J. Langeveld, 1980).

B.    ASAS-ASAS KEMUNGKINAN PENDIDIKAN

Manusia perlu dididik, implikasinya setiap orang harus melaksanakan pendidikan dan mendidik diri. Permasalahannya: apakah manusia mungkin atau dapat dididik? Hubungan antara manusia dengan pendidikan diawali dari


pertanyaan: "Apakah manusia dapat dididik? Ataukah manusia dapat bertumbuh dan berkembang sendiri menjadi dewasa tanpa perlu dididik?".

Kendati disadari pengetahuan itu penting masih sering juga muncul pertanyaan untuk apakah manusia memerlukannya? Bukankah tanpa pengetahuan manusia juga bisa hidup. Bagi manusia, kegiatan mengetahui merupakan kegiatan yang secara hakiki melekat pada cara beradanya sebagai manusia. Istilahnya dalam filsafat ilmu “knowing is a mode of being”. Secara kodrati manusia memiliki hasrat untuk mengetahui. Ada yang hasratnya besar sehingga upaya pencarian pengetahuan sangat tinggi dan tidak kenal menyerah. Akan tetapi, ada pula yang hasratnya rendah atau biasa-biasa saja sehingga tidak bermotivasi mencari pengetahuan. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa semua manusia punya keinginan untuk tahu.

Dalam arti sempit pengetahuan hanya dimiliki makhluk yang bernama manusia. Memang ada yang berpendapat berdasarkan instingnya, binatang memiliki ‘pengetahuan’. Misalnya, setiap binatang tahu akan ada bahaya yang mengancam dirinya atau ada makanan yang bisa disantap. Seekor harimau tahu persis apa ada binatang di sekitarnya yang dapat dimangsa. Seekor tikus juga tahu bahwa di sekitarnya ada kucing yang siap menerkam dirinya sehingga berdasarkan instingnya dia segera mencari tempat yang aman.

Manusia tidak dapat hidup berdasarkan instingnya saja, walau kadang-kadang juga ada manusia yang memiliki insting yang kuat. Manusia memiliki pengetahuan yang didasarkan atas insting sangat terbatas. Oleh karena manusia merupakan satu-satunya makhluk ciptaan Allah yang diberi akal (kata “aql” tidak kurang dari lima puluh kali disebut dalam kitab suci al Qur’an) maka ia dapat memperoleh pengetahuan tentang segala hal. Hebatnya lagi, manusia tidak saja mampu memperoleh pengetahuan yang diperlukan dalam hidupnya, tetapi juga mengembangkannya menjadi beraneka ragam pengetahuan.

Atas dasar studi fenomenologis yang dilakukannya, M.J. Langeveld (1980) menyatakan bahwa "manusia itu sebagai animal educandum, dan ia memang adalah animal educabile". Jika kita mengacu kepada uraian terdahulu tentang sosok manusia dalam berbagai dimensinya, ada 5 asas antropologis yang mendasari kesimpulan bahwa manusia mungkin dididik atau dapat dididik, yaitu

(1)    potensialitas, (2) dinamika, (3) individualitas, (4) sosialitas, dan (5) moralitas.


1.       Asas Potensialitas

Dalam uraian terdahulu telah dikemukakan berbagai potensi yang ada pada

manusia yang memungkinkan ia akan mampu menjadi manusia, tetapi untuk itu memerlukan suatu sebab, yaitu pendidikan. Contohnya, dalam aspek kesusilaan manusia diharapkan mampu berperilaku sesuai dengan norma-norma moral dan nilai-nilai moral yang diakui. Ini adalah salah satu tujuan pendidikan atau sosok manusia ideal berkenaan dengan dimensi moralitas. Apakah manusia dapat atau mungkin dididik untuk mencapai tujuan tersebut? Jawabannya adalah dapat atau mungkin sebab sebagaimana telah dikemukakan pada uraian terdahulu bahwa manusia memiliki potensi untuk berbuat baik. Demikian pula dengan potensi-potensi lainnya. Berdasarkan hal itu maka dapat disimpulkan bahwa manusia akan dapat dididik karena ia memiliki berbagai potensi untuk dapat menjadi manusia.

2.       Asas Dinamika

Manusia selalu aktif baik dalam aspek fisiologik maupun spiritualnya. Ia

selalu menginginkan dan mengejar segala hal yang lebih dari apa yang telah ada atau yang telah dicapainya. Ia berupaya untuk mengaktualisasikan diri agar menjadi manusia ideal baik dalam rangka interaksi atau komunikasinya secara horizontal (manusia-manusia) maupun vertikal atau transcendental (manusia-Tuhan).

Jika ditinjau dari sudut pendidik, pendidikan dilakukan dalam rangka membantu manusia (peserta didik) agar menjadi manusia ideal. Di pihak lain, manusia itu sendiri (peserta didik) memiliki dinamika untuk menjadi manusia ideal. Oleh karena itu, dimensi dinamika mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.

3.       Asas Individualitas

Individu antara lain memiliki kedirisendirian (subjektivitas), ia berbeda dari

yang lainnya dan memiliki keinginan untuk menjadi seseorang sesuai keinginan dirinya sendiri. Sekalipun ia bergaul dengan sesamanya, ia tetap adalah dirinya sendiri. Sebagai individu ia tidak pasif, melainkan bebas dan aktif berupaya untuk mewujudkan dirinya.

Pendidikan dilaksanakan untuk membantu manusia dalam rangka mengaktualisasikan atau mewujudkan dirinya. Pendidikan bukan untuk membentuk manusia sebagaimana kehendak pendidik dengan mengabaikan dimensi individualitas manusia (peserta didik). Di pihak lain manusia sesuai


dengan individualitasnya berupaya untuk mewujudkan dirinya. Oleh karena itu, individualitas manusia mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat didik.

4.       Asas Sosialitas

Sebagai insan sosial manusia hidup bersama dengan sesamanya, ia butuh

bergaul dengan orang lain. Dalam kehidupan bersama dengan sesamanya ini akan terjadi hubungan pengaruh timbal balik. Setiap individu akan menerima pengaruh dari individu yang lainnya. Kenyataan ini memberikan kemungkinan bagi manusia untuk dapat dididik sebab upaya bantuan atau pengaruh pendidikan itu disampaikan justru melalui interaksi atau komunikasi antarsesama manusia; dan bahwa manusia dapat menerima bantuan atau pengaruh pendidikan juga melalui interaksi atau komunikasi dengan sesamanya.

5.       Asas Moralitas

Manusia memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dan tidak

baik, dan pada dasarnya ia berpotensi untuk berperilaku baik atas dasar kebebasan dan tanggung jawabnya (aspek moralitas).

Pendidikan hakikatnya bersifat normatif, artinya dilaksanakan berdasarkan sistem nilai dan norma tertentu serta diarahkan untuk mewujudkan manusia ideal, yaitu manusia yang diharapkan sesuai dengan sistem nilai dan norma tertentu yang bersumber dari agama maupun budaya yang diakui. Pendidikan bersifat normatif dan manusia memiliki dimensi moralitas karena itu aspek moralitas memungkinkan manusia untuk dapat didik.

Atas dasar berbagai asas di atas, pendidikan mutlak harus dilaksanakan. Jika berbagai asumsi tersebut diingkari, kita harus sampai pada kesimpulan bahwa manusia tidak perlu didik, tidak akan dapat didik karena itu kita tak perlu melaksanakan pendidikan





Senin, 07 Oktober 2019

Materi 3 PPD: Pengaruh Berbagai Faktor dalam Perkembangan Manusia


    Pada saat studi tentang anak bertambah maju, para ahli psikologi dan filsafat telah mengembangkan berbagai teori tentang hakikat perkembangan dan pengaruh teori tersebut yang mempertimbangkan bagaimana anak berkebangan dan belajar.
        Setiap teori menggunakan cara pendekatan yang berbeda. Pertentangan tentang perkembangan anak atau konflik antar teori telah menimbulkan kesulitan untuk mengembangkan model instruksional yang paling memadai.
          Pengaruh terhadap perkembangan manusia dapat ditelusuri melalui kajian terhadap teori-teori perkembangan anak. 

A.      TEORI KEMATANGAN

         Observasi awal terhadap anak yang dilakukan untuk memahami perkembangannya, dipimpin oleh G. Stanley Hall yang menulis artikel berjudul the content of children minds (1883). Observasi selanjutnya dilakukan oleh Arnold Gesell, murid Stanley Hall seorang doktor. Gesell mengumpulkan data untuk mengungkap pengaruh kematangan pada perkembangan dan belajar anak.
         Menurut Gesell keterampilan berjalan, berbicara, dan belajar membaca terjadi sebagai akibat perkembangan biologis anak. Kesiapan biologis merupakan faktor dominan dalam memampukan anak untuk belajar.
        Deskripsi Gesell tentang tahap kematangan anak dan kesiapan untuk belajar pada usia kronologis menginformasikan kepada pengembang kurikulum tentang bagaimana mendesain kurikulum bagi kelas-kelas yang berbeda. Beberapa prinsip umum yang dikembangkan oleh Gesell masih dianggap penting sampai sekarang. Misalnya, Gesell menerangkan bahwa pertumbuhan gerak maju dari kepala ke ekor (cephalochandall), dan dari tubuh ke bagian-bagian, seperti tangan dan kaki (proximodistal). Teori perkembangan kognitif dari Piaget pada dekade berikutnya menerangkan perkembangan kognitif individual lebih baik daripada usia kronologis. Peranan lingkungan terhadap perkembangan kognitif anak tidak diterangkan pula dalam teori kematangan dari Gesell. Dalam praktik pendidikan dapat diketahui bahwa pada usia tertentu sebagian anak sudah siap untuk bersekolah sedangkan yang lainnya belum mencapai kematangan

B.      TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF/KONSTRUKTIVISME

 1.       Jean Piaget

Pandangan teori perkembangan kognitif mempunyai pengaruh besar untuk memahami bagaimana anak memperoleh dan menggunakan pengetahuan. Karya Jean Piaget telah memperluas pemahaman kita tentang bagaimana kognisi-kognisi berkembang. Hasil kajian Piaget (1963) tentang kognisi menunjukkan bahwa anak-anak mempunyai tahap pemahaman yang berbeda pada usia yang berbeda pula. Teori perkembangan kognitif menunjukkan bahwa interaksi anak dengan lingkungan dan pengorganisasian kognitif dari pengalaman menghasilkan kecerdasan. Yang  menjadi penekanan teori ini ialah pada proses pemikiran anak pada saat terjadinya belajar. Pengetahuan anak terbentuk secara berangsur sejalan dengan pengalaman yang berkesinambungan dan bertambah luasnya pemahaman tentang informasi-informasi yang ditemui. Menurut Piaget, anak menjalani urutan yang sudah pasti dari tahap-tahap perkembangan kognitif. Pada setiap tahap, baik kuantitas informasi maupun kualitas kemampuan meningkat.
 Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 18961980. Teori perkembangan kognitif Piaget adalah salah satu teori yang menjelaskan bagaimana anak beradaptasi dengan dan menginterpretasikan objek dan kejadian-kejadian sekitarnya. Bagaimana anak mempelajari ciri-ciri dan fungsi dari objek-objek seperti mainan, perabot, dan makanan serta objek-objek sosial seperti diri, orangtua dan teman. Bagaimana cara anak mengelompokkan objek-objek untuk mengetahui persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaannya, untuk memahami penyebab terjadinya perubahan dalam objek-objek dan perisiwa-peristiwa dan untuk membentuk perkiraan tentang objek dan peristiwa tersebut.
Piaget percaya bahawa pemikiran anak-anak berkembang menurut tahap-tahap atau priode-periode yang terus bertambah kompleks. Menurut teori tahapan Piaget, setiap individu akan melewati serangkaian perubahan kualitatif yang bersifat invariant, selalu tetap, tidak melompat atau mundur. Perubahan kualitatif ini terjadi karena tekanan biologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan serta adanya pengorganisasian struktur berfikir.
Piaget mengatakan bahwa kita melampui perkembangan melalui empat tahap dalam memahami dunia. Masing-masing tahap terkait dengan usia dan terdiri dari cara berpikir yang berbeda. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut:

  • Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
  • Periode pra-operasional (usia 2–7 tahun)
  • Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
  • Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)    
Tahapan operasional konkrit ( usia 0-2 tahun)
   Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
1. Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
2. Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
3. Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
4. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai dua belas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
5. Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
6. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.

Tahapan-pra operasional ( usia 2-7 tahun )
        Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran Pra-Operasional dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda
Tahapan operasional konkrit ( usia 7-11 tahun )

        Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:

1.Pengurutan :kemampuan untuk mengurutkan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
2.Klasifikasi :kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan).
3.Decentering :anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
4.Reversibility :anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
5.Konservasi :memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
6.Penghilangan sifat Egosentrisme :kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.

 Tahapan operasional formal ( usia 11 tahun sampai dewasa )
           Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada “gradasi abu-abu” di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.

2.       Lev Vygotsky


Karya Lev V. Gotsky seorang ahli psikologi Rusia dikenal dengan V Gotskian Approach, dia termasuk seorang constructivist, seperti juga Piaget,
V. Gotsky meyakini pula bahwa anak-anak membentuk, membangun, atau mengkonstruk pengetahuan. Para ahli psikologi Amerika baru menyadari karyanya yang berjudul thought an language (1932) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (1962). Menurut V. Gotsky interaksi sosial memegang peran penting dalam belajar. Baginya interaksi fisik dan interaksi sosial sangat penting bagi perkembangan. Orang dewasa memegang peran penting sebagai mediator sosial, lebih-lebih guru harus mengidentifikasi apa yang sebenarnya dipahami anak. Lingkungan sosial mencakup keluarga, sekolah, masyarakat, dan budaya yang menjadi lingkungan hidup anak. Lingkungan budaya dan lingkungan keluarga anak yang berbeda akan berpengaruh terhadap cara anak berpikir. V. Gotsky melangkah lebih jauh dan menganggap  budaya  anak  dan  sejarah  hidupnya  secara  individual  sangat penting. Anak berbagi proses mental dalam konteks sosial dan belajar dengan berbagi pengalaman melalui interaksinya dengan orang lain. Anak belajar berbagi pengalaman dengan orang lain, kemudian diikuti pengalaman- pengalaman pribadi (V. Gotsky, 1978).
Konsep-konsep penting teori Sosio Genesis vygotsky tentang perkembangan kognitif yang sesuai dengan revolusi sosiokultural dalam teori belajar dan pembelajaran adalah adalah sebagai berikut;
  1. Hukum Genetic tentang Perkembangan (Genetic Law of Development)

Menurut vygotsky, kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melewati 2 tataran, yaitu tataran sosial tempat orang-orang bentuk lingkungan sosial (Interpsikologis atau Intermental), dan dataran sikologis di dalam diri orang yang bersangkutan (Intrapsikologis atau Intramental).
Intermental  merupakan faktor premier dan terhadap pembentukan pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang. Pandangan teori ini menyatakan bahwa fungsi-fungsi hal yang lebih tinggi dalam diri seseorang akan muncul dan berasal dari kehidupan sosialnya. Sementara, fungsi intermental sebagai derivasi atau keturunan yang tumbuh atau terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut.
  1. Zona Perkembangan Proksimal (Zone of Proximal Development)

Vygotsky juga mengemukakan konsep Zone of Proximal Development  (Zona Perkembangan Proksimal).  Kita singkat dengan ZPD. Konsep ini berpandangan bahwa dalam perkembangannya kemampuan seseorang dibedakan dalam 2 (dua) tingkatan, yaitu tingkat perkembangan aktual dan perkembangan potensial.
Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang dalam menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan masalah secara mandiri, disebut juga sebagai kemampuan intramental. Sedangkan, tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau masalah dengan bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten, disebut juga sebagai kemampuan intermental. Jarak antara kedua tingakt kemampuan ini disebut dengan ZPD.
ZPD diartikan sebagai kemampuan atau fungsi yang masih pada proses pematangan. Ibaratnya sebagai kuncup bunga yang belum menjadi buah. Anak berkembang melalui interaksinya dengan orang dewasa atau kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten. Untuk menafsirkan ZPD ini menggunakan Scaffolding Interpretation, yaitu memandang ZPD sebagai perancah, sejenis wilayah penyangga atau batu loncatan untuk mencapai taraf perkembangan yang semakin tinggi.
Gagasan ZPD ini mendasari perkembangan teori belajar dan menigkatkan kualitas pembelajaran dan mengoptimalkan perkembangan kognitif anak. Kuncinya adalah bahwa perkembangan dan belajar bersifat interdependen atau saling terkait, perkembangan kemampuan seseorang bersifat konteks dependen atau tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial dan sebagai bentuk benda mental dalam belajar adalah partisipasi dalam kegiatan sosial.
  1. Mediasi

Hubungan antara lingkungan sosii-kulturak dan proses perkembangan anak dibutuhkan mediasi. Mediatornya berupa tanda maupun lambing-lambang yang menjadi kunci utama untuk memahami proses sosial dan psikologis. Tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut merupakan produk dari lingkungan sosio-kultural di mana seseorang berada. Semua perbuatan atau proses psikologis yang khas manusiawi dimediasikan dengan psychological tools atau alat-alat berupa bahasa, tanda dan lambang, atau semiotika.
Ada 2 (dua) jenis mediasi dalam Teori perkembangan kognitif Vygotsky, yaitu media Metakognitif dan mediasi Kognitif. Media metakognitif adalah penggunaan alat Semiotic yang tujuannya untuk melakukan self Regalution (pengaturan diri) yang mencakup; Self-Planning, Self-Monitoring, Self-Chechikng dan Self-Evaluation. Sedangkan media Kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif yang tujuannya memecahkan masalah yang berhubungan dengan pengetahuan tertentu. Sehingga, media kognitif bisa berupa konsep spontan (yang bisa salah) dan berupa konsep ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya). Menurut vygotsky, untuk membantu anak mengembangkan pengetahuan yang sungguh-sungguh, dengan cara memadukan antara kedua mediasi melalui demonstrasi dan praktek.
 Tahap Pengkonstruksian Pengetahuan
Berdasarkan uraian di atas, Vygotsky menekankan bahwa pengkonstruksian pengetahuan seorang   individu  dicapai  melalui  interaksi  sosial.  Ada beberapa tahapan pengkontrusian pengetahuan tersebut;
  1. Tahap Perkembangan Aktual  (Tahap  I)

Terjadi  pada  saat  Peserta Didik  berusaha  sendiri  menyudahi konflik  kognitif  yang  dialaminya.  Perkembangan  aktual  ini  dapat  mencapai  tahap maksimum apabila kepada mereka dihadapkan masalah menantang sehingga terjadinya konflik kognitif di dalam dirinya yang memicu dan memacu mereka untuk menggunakan segenap pengetahuan dan pengalamannya dalam menyelesaikan masalah tersebut.
  1. Perkembangan Potensial (Tahap  II)

Terjadi pada  saat  Peserta Didik  berinteraksi dengan pihak  lain dalam  komunitas  kelas  yang memiliki  kemampuan  lebih,  seperti  teman dan guru,  atau dengan  komunitas  lain  seperti orang  tua. Perkembangan potensial  ini akan mencapai  tahap maksimal  jika  pembelajaran  dilakukan  secara  kooperatif  (cooperative learning) dalam kelompok kecil dua sampai empat orang dan guru melakukan intervensi secara  proporsional  dan  terarah.  Dalam  hal  ini  guru  dituntut  terampil  menerapkan teknik  scaffolding  yaitu  membantu  kelompok  secara  tidak  langsung  menggunakan teknik  bertanya  dan  teknik  probing  yang  efektif,  atau  memberikan  petunjuk  (hint) seperlunya.
  1. Proses Internalisasi  (Tahap  III)

Proses  pengkonstruksian  pengetahuan  ini  terjadi  rekonstruksi  mental  yaitu berubahnya  struktur  kognitif dari  skema  yang  telah ada menjadi  skema baru  yang  lebih lengkap. Menurut  Vygotsky merupakan  aktivitas mental tingkat tinggi  jika terjadi karena adanya  interaksi sosial. Setelah memahami  teori belajar Vygotsky yang menekankan bahwa pengkonstruksian pengetahuan seorang  individu dicapai melalui  interaksi  sosial.

3.       Teori Behaviorisme


        Teori ini berakar dari karya Ivan Pavlov seorang ahli psikologi Rusia yang menetapkan bahwa binatang dapat mempelajari respon fisiologi kepada lingkungan melalui rangsangan (stimuli). Para ahli behaviorisme menanamkan teori S-R (stimulus-respon) dalam perkembangan anak. Menurut para ahli behaviorisme baru, faktor kritis dalam pertumbuhan dan perkembangan adalah lingkungan dan kesempatan untuk belajar.
         Belajar itu berkelanjutan, merupakan hasil jerih payah dalam  lingkungan, serta tidak ada hubungannya dengan umur dan tahap-tahap perkembangan. Arah perilaku ditentukan melalui pengendalian lingkungan belajar dan pengalaman-pengalaman individual
           Melalui karya B. F. Skinner (1953) para ahli behaviorisme menyampaikan gagasannya kepada para orang tua dan sekolah. Menurutnya, jika lingkungan ditata untuk memfasilitasi ketercapaian perilaku yang dikehendaki maka akan dipengaruhi untuk mencapai perilaku yang seharusnya. Menurut Skinner, karya semua perilaku dipelajari maka akan dapat dibentuk atau dimodifikasi. Strategi untuk memodifikasi perilaku didasarkan atas reinforcement. Bila perilaku yang dikehendaki dilakukan anak dan diberi hadiah (reward), perilaku itu sudah di-reinforced, dan kesempatan untuk perilaku itu akan diulang lagi. Hukuman digunakan untuk menghentikan perilaku yang tidak dikehendaki. Memberikan hadiah (penghargaan) untuk perilaku yang dikehendaki lebih efektif daripada memberi hukuman pada perilaku yang tidak dikehendaki.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
  1. Tokoh Teori Belajar Behaviorisme
Menurut Anonim (2010), ada beberapa tokoh teori belajar behaviorisme, antara lain: Pavlov, Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut ini akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behaviorisme dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
  1. 1.      Teori Belajar Behavioristik Menurut Pavlov
Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia yaitu desa tempat ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov menjadi seorang pendeta. Ia dididik di sekolah gereja dan melanjutkan ke Seminari Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjan kedokteran dengan bidang dasar fisiologi. Pada tahun 1884 ia menjadi direktur departemen fisiologi pada institute of Experimental Medicine dan memulai penelitian mengenai fisiologi pencernaan. Ivan Pavlov meraih penghargaan nobel pada bidang Physiology or Medicine tahun 1904. Karyanya mengenai pengkondisian sangat mempengaruhi psikology behavioristik di Amerika. Karya tulisnya adalah Work of Digestive Glands(1902) dan Conditioned Reflexes(1927).
  1. 2.    Teori Belajar Behavioristik Menurut Thorndike 
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000, dalam Sanjaya, 2011).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni: 1) hukum efek; 2) hukum latihan, dan 3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
  1. 3.     Teori Belajar Behavioristik Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati.
  1. 4.    Teori Belajar Behavioristik Menurut Clark Hull 
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu, Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam.
  1. 5.    Teori Belajar Behavioristik Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
  1. 6.    Teori Belajar Behavioristik Menurut Skinner 
Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000 dalam Sanjaya, 2011). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
  1. 7.      Teori Belajar Behavioristik Menurut Bandura
Bandura lahir pada tanggal 4 Desember 1925 di Mondare  alberta berkebangsaan Kanada. Ia seorang psikolog yang terkenal dengan teori belajar sosial atau kognitif sosial serta efikasi diri. Eksperimennya yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan anak meniru secara persis perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya.
Menurut Bandura dalam eksperimennya terdapat faktor-faktor yang berproses dalam belajar observasi yaitu:
  1. Perhatian, mencakup peristiwa peniruan dan karakteristik pengamat.
  2. Penyimpanan atau proses mengingat, mencakup kode pengkodean simbolik.
  3. Reprodukdi motorik, mencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru, keakuratan umpan balik.
  4. Motivasi, mencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri.

4.       Teori Belajar Sosial

         Pada perkembangan terakhir, para ahli behaviorisme telah memperluas hakikat belajar dengan mencakup imitasi dan observasi. Para ahli teori  belajar seperti Albert Bandura (1963) menyatakan bahwa banyak perilaku yang tidak dipelajari melalui pembentukan tetapi berkembang melalui reaksi dan interpretasi individu terhadap situasi.
         Stimulus dan situasi yang sama akan menimbulkan reaksi yang berbeda bergantung kepada interpretasi individu terhadapnya. Petunjuk/perintah verbal ditambah observasi individu dalam suatu konteks sosial, akan berdampak pada ekspektasi, kemampuan, dan pertimbangan-pertimbangan individu lainnya dalam menentukan respon. Maka, seorang anak yang melihat anak lain yang dihukum karena perilaku yang tidak dikehendaki akan dapat mempelajari respon yang semestinya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa anak dapat mempelajari perilaku yang baru dengan melakukan imitasi (peniruan) anak lain yang berperilaku secara benar.
         Dari uraian di atas jelaslah bahwa ada faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi perkembangan manusia yang oleh para ahli dilukiskan melalui teori-teori berkaitan dengan perkembangan.
          Albert Bandura mengemukakan bahwa seorang individu belajar banyak tentang perilaku melalui peniruan / modeling, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang diterimanya. Proses belajar semacam ini disebut "observational learning" atau pembelajaran melalui pengamatan. Albert Bandura (1971), mengemukakan bahwa teori pembelajaran sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) cara pandang dan cara pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan observational opportunity.
          Teori belajar sosial menekankan observational learning sebagai proses pembelajaran, yang mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari perilaku dengan mengamati secara sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan kepada orang lain.
        Dalam observational learning terdapat empat tahap belajar dari proses pengamatan atau modeling Proses yang terjadi dalam observational learning tersebut antara lain :
a. Atensi, dalam tahapan ini seseorang harus memberikan perhatian terhadap model dengan cermat
b. Retensi, tahapan ini adalah tahapan mengingat kembali perilaku yang ditampilkan oleh model yang diamati maka seseorang perlu memiliki ingatan yang bagus terhadap perilaku model.
c. Reproduksi, dalam tahapan ini seseorang yang telah memberikan perhatian untuk mengamati dengan cermat dan mengingat kembali perilaku yang telah ditampilkan oleh modelnya maka berikutnya adalah mencoba menirukan atau mempraktekkan perilaku yang dilakukan oleh model.
d. Motivasional, tahapan berikutnya adalah seseorang harus memiliki motivasi untuk belajar dari model